Tidak ragu lagi bahwa berziarah kubur adalah perkara yang dianjurkan oleh islam, Nabi shallallahu ‘alaiahi wasallam bersabda:
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ
“Berziarah kuburlah, karena ia mengingatkan kamu kepada kehidupan akhirat”. (HR Ibnu majah).
Akan tetapi yang akan kita bahas adalah melakukan perjalanan jauh (safar) ke kuburan, baik kuburan para Nabi, atau kuburan para wali dan lainnya.
Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari hadits Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِى هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”.
Dan dalam shahih Muslim dengan redaksi larangan:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِى هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah kamu mengadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid; masjidku ini dan masjidil haram dan masjid Al Aqsha”.
Dan dalam riwayat Ahmad dalam musnadnya terdapat kisah bahwa Abu Bashrah Al Ghifari bertemu dengan Abu Hurairah yang datang dari arah bukit Thur, maka ia berkata: “Dari mana kamu datang?” Abu Hurairah menjawab: “Dari bukit Thur, aku shalat di sana”. Abu Bashrah berkata: “Kalau tadi kamu bertemu denganku sebelum berangkat ke sana, pasti kamu tidak akan berangkat, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid…alhadits. dan sanadnya shahih.
Al Azraqi dalam akhbar Makkah (hal 304) meriwayat dari Qaz’ah ia berkata: “Aku ingin keluar menuju bukit Thur, lalu aku bertanya kepada ibnu Umar, beliau berkata: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid.. alhadits, dan sanadnya shahih.[1]
Hadits ini menunjukkan haramnya mengadakan perjalanan jauh kecuali ke tiga masjid, Al Hafidz ibnu hajar berkata: “..maksudnya adalah larangan untuk bersafar kepada selainnya. Ath Thiibi berkata: “(bahkan) ia lebih kuat dari larangan yang tegas”.[2]
Maksud beliau bahwa lafadz hadits sangat kuat menunjukkan kepada keharaman, karena ia mempunyai makna Al Hashru (pembatasan), sama i’rabnya dengan kalimat Laa ilaah illallah yang bermakna pembatasan, artinya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, demikian pula hadits ini: ““Tidak boleh diadakan perjalan jauh kecuali kepada tiga masjid”.
Dan perbuatan Abu Bashrah dalam riwayat imam Ahmad, dan ibnu Umar memberikan faidah bahwa mereka memahami larangan dalam hadits itu bersifat umum, mencakup bersafar ke masjid maupun ke tempat-tempat lainnya yang mulia dan diagungkan . Dan ini adalah pemahaman shahabat, dan Abu Hurairah tidak menyanggah pemahaman tersebut, maka ini adalah hujjah.
Hadits ini menunjukkan larangan untuk pergi safar menuju tempat-tempat yang diagungkan dan dimuliakan seperti masjid, kuburan wali, tempat yang kramat dan sebagainya kecuali ke tiga masjid saja. Waliyyullah Ad Dahlawi berkata: “Dahulu, orang-orang jahiliyah pergi menuju tempat-tempat yang diagungkan menurut mereka untuk berziarah dan mengharapkan keberkahannya.. maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menutup kerusakan ini, agar tidak dianggap sebagai syi’ar-syi’ar (agama), dan agar tidak menjadi sebab diibadahinya selain Allah, dan yang haq bahwa kuburan dan tempat-tempat ibadah para wali dan bukit Thur masuk ke dalam larangan ini”.[3]
Adapun pergi jauh bukan karena tujuan tempat-tempat yang diagungkan dan dimuliakan, maka tidak masuk ke dalam larangan hadits ini, seperti pergi menuntut ilmu, safar untuk berbisnis, mengunjungi saudara kita di jalan Allah dan sebagainya. Karena safar seperti ini tujuannya bukan tempat, namun untuk mendapatkan hajat yang ingin kita dapatkan.[4]
Maka yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin di zaman ini dengan mengadakan wisata ke kuburan para wali terutama wali songo adalah perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini.
Menepis syubhat.
Diantara syubhat pendapat yang membolehkan adalah:
Syubhat 1
Mereka berkata: “Larangan hadits itu adalah khusus untuk masjid, sehingga maknanya: “Tidak boleh diadakan perjalan jauh ke suatu masjid kecuali kepada tiga masjid”. Dan ini apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya dari Abdul hamid bin Bahram ia berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id Al khudri yang disebutkan padanya shalat di bukit Thur, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلَاةُ، غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي هَذَا
“Tidak selayaknya untuk diadakan perjalan jauh ke suatu masjid dengan tujuan shalat padanya selain Al Masjidil Haram, Masjid Al Aqsha, dan masjidku ini”.
Jadi, larangan ini khusus masjid, adapun pergi jauh berziarah kubur dan sebagainya adalah di bolehkan.
Jawab:
Pertama: Lafadz hadits ini bersendirian padanya seorang perawi yang bernama Syahr bin Hausyab, ia adalah perawi yang dla’if. Al Hafidz ibnu Hajar dalam At taqriib berkata: “Shaduuq katsirul auhaam (banyak kesalahannya)”. Dan perawi yang banyak wahm (kesalahannya) termasuk perawi yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam Syarah An Nukhbah. Adapun perkataan Al Hafidz ibnu hajar dalam fathul baari yang menilai Syahr sebagai perawi yang hasan, bertabrakan dengan perkataan beliau sendiri.
Kedua: Kalau misalnya lafadz hadits ini shahih, malah menjadi hujjah untuk kita, karena Abu Sa’id dalam hadits tersebut mengingkari orang yang ingin pergi ke bukit Thur dengan beralasan hadits ini, dan pemahaman ini sesuai dengan pemahaman shahabat lainnya.
ketiga: Pemahaman bahwa larangan tersebut hanya khusus untuk masjid saja bertentangan dengan pemahaman para shahabat yang telah kita sebutkan di atas, kalaulah larangan tersebut khusus safar ke masjid, tentu para shahabat tidak akan melarang orang yang mau pergi ke bukit Thur.
Syubhat 2
Mereka berkata: “Makna hadits itu adalah bahwa keutamaan yang paling sempurna adalah melakukan perjalanan safar kepada salah satu dari tiga masjid tersebut, adapun safar ke masjid lain dari selain tiga masjid itu adalah boleh, dan makna ini ditunjukkan oleh hadits Abu Sa’id Al Khudri yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan lafadz: “Tidak selayaknya untuk diadakan perjalanan jauh..”. karena kalimat: “laa yanbaghi (Tidak layak/patut)” menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak haram.
Jawab:
Pertama: Telah kita jawab pada jawaban syubhat 1, bahwa lafadz tersebut adalah lafadz yang dla’if.
Kedua: kalaupun lafadz ini shahih, maka tidak menunjukkan kepada makna tidak haram, karena kalimat “laa yanbaghi (Tidak layak/patut)” sering digunakan untuk makna haram. Seperti firman Allah Ta’ala:
قَالُوا سُبْحَانَكَ مَا كَانَ يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَّخِذَ مِنْ دُونِكَ مِنْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنْ مَتَّعْتَهُمْ وَآبَاءَهُمْ حَتَّى نَسُوا الذِّكْرَ وَكَانُوا قَوْمًا بُورًا
“Mereka (yang disembah itu) menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagi Kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang binasa”.
Maka apakah makna ayat di atas artinya tidak haram bagi kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung??! Demikian pula hadits:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَ تَنْبَغِى لآلِ مُحَمَّد
“Sesungguhnya shadaqah itu tidak patut untuk keluarga Muhammad”.
Apakah makna hadits ini: tidak haram shadaqah untuk keluarga Muhammad?? Padahal para ulama telah berijma’ bahwa keluarga Muhammad haram memakan harta shadaqah.
Ketiga: Justru para shahabat memahami larangan tersebut sebagai sebuah keharaman sebagaimana telah kita sebutkan, dan ini adalah pemahaman mereka tanpa ada pengingkaran dari shahabat lain, sehingga menjadi sebuah konsensus dari mereka.
Syubhat 3
Larangan hadits itu khusus bagi mereka yang bernadzar untuk shalat di sebuah mesjid selain tiga masjid tersebut, artinya tidak wajib melaksanakan nadzar tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Bathal.
Jawab:
Pertama: Ini adalah mengkhususkan dalil tanpa ada dalil yang mengkhususkannya, sehingga bertentangan dengan kaidah ushul fiqih yang mengatakan bahwa dalil yang umum tidak boleh dikhususkan kecuali dengan dalil.
Kedua: Pemahaman ini bertabrakan dengan pemahaman para shahabat yang meriwayatkan hadits ini, seperti Abu Hurairah, Abu Bashrah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al Khudri bila shahih. Mereka memahami dalil ini sebagai larangan secara umum pergi safar ke tempat yang di agungkan kecuali ke tiga masjid tersebut.
Faidah.
Hadits-hadits yang menganjurkan berziarah ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam secara khusus, semuanya lemah atau palsu. Yaitu:
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ
“Barang siapa yang berhaji dan tidak berziarah kepadaku, maka sungguh ia telah bersikap sikap kasar kepadaku”.
Hadits ini dinyatakan palsu oleh Adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (3/237), Ash Shaghani memasukkannya dalam hadits-hadits palsu (hal.6), demikian juga Az Zarkasyi, dan Asy Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah (hal 42).
Hadits ini dikeluarkan oleh ibnu Hibban dalam Adl Dlu’afa (2/73), dan ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at (2/217), dari jalan Muhammad bin Muhammad bin An nu’man bin Syibil dari kakeknya haddatsana Malik dari Nafi’ dari ibnu Umar secara marfu’.
Ibnu Hibban dan ibnul Jauzi berkata: “ia (Muhammad bin Muhammad bin An nu’man bin Syibil) datang membawa bencana dari perawi-perawi tsiqat, dan membawa riwayat-riwayat yang terbalik dari perawi-perawi yang tsabt”. Ad Daraquthni berkata: “Penyakitnya berasal dari Muhammad bin Muhammad bin An nu’man”.
Dan yang menunjukkan kepada kepalsuan hadits ini adalah bahwa bersikap kasar kepada Rasulullah adalah termasuk dosa besar, ini berarti orang yang tidak berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan dosa besar, dan berkonsekwensi wajibnya berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama dengan wajibnya haji, padahal tidak ada seorang ulamapun yang berpendapat seperti ini. Karena berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun termasuk ibadah namun hukumnya menurut para ulama tidak melebihi mustahab (sunah), lalu bagaimana bisa orang yang tidak berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dianggap bersikap kasar kepada beliau?![5]
Hadits lainnya:
مَنْ زَارَنِيْ بَعْدَ مَوْتِيْ فَكَأَنَّمَا زَارَنِيْ فِي حَيَاتِيْ
“Barang siapa yang mengunjungiku setelah matiku, maka seakan-akan ia mengunjungiku ketika hidupku”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Ad Daraquthni dalam sunannya (2/278 no 192), Al Baihaqi dalam Syu’abul iman (3/488) dari jalan Harun bin Abi Qaz’ah dari seorang laki-laki yang berasal dari keluarga Hathib, dari Hathib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… alhadits.
Hadits ini batil, karena di dalam sanadnya ada dua penyakit:
Pertama: Seorang laki-laki tersebut majhul tidak diketahui siapa ia.
Kedua: Harun Abi Qaz’ah adalah perawi yang dla’if, di dla’ifkan oleh Ya’qub bin Abi Syaibah, dan disebutkan oleh Al ‘Uqaili, As Saaji, dan ibnul Jarud dalam kitab Adz Dlua’fa, dan Al Bukhari berkata: “La yutaba’ ‘alaih”. Dan beliau menyebutkan sanad di atas namun secara mursal.
Dan Al Azdi berkata: “Harun Abu Qaz’ah meriwayatkan dari seorang laki-laki dari keluarga Hathib hadits-hadits mursal”. Maka ini adalah cacat yang ketiga, yaitu terjadinya keguncangan dalam sanadnya.[6]
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits ibnu Umar dengan lafadz:
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Siapa yang berhaji lalu mengunjungi kuburanku setelah wafatku, maka ia seperti orang yang mengunjungiku ketika hidupku”.
Dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (12/406), Al Baihaqi dalam sunannya (5/246), dan lainnya dari jalan Hafsh bin Sulaiman Abu Umar dari Laits bin Abi Sulaim dari Mujahid dari Abdullah bin Umar secara marfu’.
Sanad ini sangat lemah, karena ada dua cacat:
Pertama: Laits bin Abi Sulaim adalah perawi yang lemah.
Kedua: Hafsh bin Sulaiman sangat lemah, Yahya bin Ma’in berkata: “kadzab (tukang berdusta)”. Ibnu Kharrasy berkata: “Kadzab, suka memalsukan hadits”. Al Hafidz ibnu hajar Al ‘Asqalani berkata: “Matruk”.
Adapun perkata ibnu Hajar Al Haitami: “Ibnu Adi meriwayatkannya dengan sanad yang dapat dijadikan hujjah”. Adalah perkataan yang batil karena telah kita ketahui keadaan sanadnya.
Dan riwayat ibnu Umar ini mempunyai jalan lain, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath: haddatsana Ahmad bin Risydin haddatsana Ali bin Al Hasan bin Harun Al Anshari haddatsani Laits bin bintu Laits bin Abi Sulaim haddatsatni Aisyah bintu Yunus istri Laits bin Abi Sulaim dari Laits bin abi Sulaim…dst.
Namun kita tidak gembira dengan jalan ini, karena banyak cacatnya:
Pertama: Ahmad bin Risydin, dikatakan oleh ibnu Adi: “kadzabuuh (mereka menganggapnya pendusta), dan aku mengingkari beberapa perkara darinya”. Dan Adz Dzahabi menyebutkan beberapa haditsnya yang batil.
Kedua: terdapat tiga perawi yang majhul yaitu: Ali bin Al Hasan bin Harun, Laits bin bintu Laits bin Abi Sulaim, dan Aisyah istri Laits bin Abi Sulaim.
Ketiga: laits bin Abi Sulaim lemah sebagaimana telah disebutkan.[7]
Dan riwayat ibnu Umar ini juga mempunyai jalan lain yang juga tidak menggembirakan, dikeluarkan oleh Al Faqihani dalam Akhbar Makkah (3/160) dari jalan Abdullah bin Nafi’ dari Malik dari Nafi’ dari ibnu Umar dengan lafadz:
مَنْ مَاتَ بَيْنَ الْحَرَمَيْنِ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا بَعَثَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حِسَابَ عَلَيْهِ وَلَا عَذَابَ، وَمَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Siapa yang meninggal diantara dua tanah suci dalam keadaan haji atau umrah, Allah akan bangkitkan ia pada hari kiamat tidak ada hisab dan adzab untuknya, dan siapa yang mengunjungiku setelah matiku, seakan-akan ia mengunjungiku ketika hidupku..dst.
Namun dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Nafi’, Al Bukhari berkata: “Abdullah bin Nafi’ mungkar, Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa bisyai”. Dan An Nasai berkata: “Matruk”. Sebagaimana dikatakan oleh ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’atnya (2/219).
Ibnu ‘Arraq Al kinani dalam kitab tanzihus Syari’ahnya menukil perkataan Rasyid Al ‘Athar: “Abdullah bin nafi’ yang dinyatakan lemah oleh mereka, tidak aku ketahui ia meriwayatkan dari Malik, namun ia meriwayatkan dari ayahnya. Karena yang meriwayatkan dari Malik adalah Abdullah bin Nafi’ Ash Shaigh atau Abdullah bin nafi’ bin Tsabit bin Abdillah bin Az Zubair, dan keduanya bukan lemah”.[8]
Oleh karena itu lafadz ini dimasukkan dalam golongan hadits-hadits palsu oleh para penulis kitab al maudlu’at seperti As Suyuthi dalam Al laalinya (2/109), ibnul Jauzi dalam maudlu’atnya (2/219), dan ibnu ‘Arraq dalam tanzihnya (2/210).
Hadits lainnya:
من زارني بالمدينة محتسبا كنت له شهيدا أو شفيعا يوم القيامة
“Barang siapa yang mengunjungi aku di Madinah karena berharap pahala, maka aku akan menjadi saksi atau memberinya syafa’at pada hari kiamat”.
Dikeluarkan oleh Abul Qasim Al Jurjani dalam Tarikh Jurjan (1/220): haddatsani Sa’id bin ‘Utsman Al Jurjani haddatsana Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik akhbarani Abul Mutsanna Sulaiman bin Yazid Al Ka’bi dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda…alhadits.
Dalam sanad hadits ini terdapat Sulaiman bin Yazid Al Ka’bi, Abu Hatim berkata: “Mungkar hadits dan tidak kuat”. Ibnu Hibban bekata: “Tidak boleh berhujjah dengannya”. Dan Al Hafidz ibnu hajar berkata: “Di dla’ifkan oleh ibnu Hibban dan Ad Daraquthni”.[9] Maka sanad ini adalah sanad yang lemah.
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits ibnu Umar dengan lafadz:
مَنْ جَاءني زائراً لا يُعمِلُهُ حَاجَة إلا زيارتي ؛ كان حقاً عليَّ أَنْ أكون له شفيعاً يوم القيامة
“Barang siapa yang datang kepadaku, tidak kebutuhan kecuali hanya untuk mengunjungiku, maka sudah kewajibanku untuk memberikan syafa’at kepadanya pada hari kiamat”.
Dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (12/291 no 13149) dan lainnya dari jalan Maslamah bin Salim Al juhani haddatsani Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Salim dari ibnu Umar secara marfu’.
Dan sanad ini sangat lemah, karena Maslamah adalah perawi yang sangat lemah, Abu Daud berkata: “Laisa bitsiqah”.[10] Sehingga tidak dapat menguatkan hadits Anas.
[1] Ahkaamul janaaiz hal 287.
[2] Fathul baari 3/64.
[3] Al Hujjatul Balighah 1/192.
[4] Majmu’ Al fatawa 2/186.
[5] Silsilah ahadits dla’ifah 1/119.
[6] Silsilah ahadits dla’ifah 3/89-90.
[7] Silsilah ahadits Adl Dla’ifah no 1/120-122.
[8] Tanzihus Syari’atil Marfu’ah 2/210.
[9] Silsilah dla’ifah 10/112-113 no 4598.
[10] Silsilah dla’ifah 12/520-521 no 5732.